Senin, 21 November 2011

FROM SANUR-BALI WITH HEART TO OUR MOTHER EARTH

Oleh : Dwi Pradnya Ayu (FK Udayana, Bayer Young Environmental Envoy Indonesia 2011)


Toward the end of year, people use it as great momentum to hold such great events. I could not find any good reason since I think every date in whole year have similar taste. But here I can bring you some nice stories from one of annual events in Bali where you can find people, culture, and nature mix in a bowl.

The wonderful event named Sanur Village Festival (SVF) that happen in 2011 during 19-23 November in Matahari Terbit Beach, Sanur. This year it would be the 6th SVF since it was held first at 2006. But it is kind special because for this year, the SVF would be merged with Indonesia Horticulture Festival and International Kite Festival.



Not less than 20 kind of activities and mini-events held in SVF 2011, some of them are bonsai and adenium exhibition, Sanur Village Cycling, Denpasar city tour, Bali Culinary Challenge, Kampung Seni, Sanur Open Golf Tournament, Under Water Festival, Kompetisi Jukung, and of course the Kite Festival. Beside those, you may join Yoga Village, Fishing Tournament, Photography Contest, Marine Water Sport and many others sport activities, games, Bleganjur (traditional Balinese orchestra) Parade, and Global Warming Act.

Nah, for the last activity I mentioned above, the Global Warming Act, I had special review since this is very interesting to see how local people together with visitors (most of them are tourists) take a part in greening our environment back.
*             *             *
Maintaining the balance of nature and consistently carrying out positive efforts for the earth are integrated efforts that have continuously been sounded by Sanur Village Festival as response to the various issues that need serious attention over environmental degradation. Some case reports from around Sanur’s vicinity itself are decreasing of functional mangrove caused by illegal dumping, abrasion due to changing tide as well as damaged coral reefs as natural tide breaker, and how those affect the fishermen. Rice fields are gradually disappearing, turned into hotels, housing, and shopping complexes and various types of big trees becoming the victims of those changes as well.


5R: The Theme



In SVF 2011, they picked 5R (Reduce, Reuse, Recycling, Replant, and Recovery) as the theme of Global Warming Act. The 5R targeted to all society in Bali and in bigger scope, all of the inhabitant in this globe, to take the real action in protecting our earth. Reduce, reuse, recycling, replant, and recovery are five simple actions yet if done continually by many would result in great miracle on earth. Sanur-Bali through SVF expected to be a starting point for the great to take form.

The global warming act is presented in intaran three planting, where intaran is also the identity of one ‘banjar’ (smallest community in Bali) in Bali, named Banjar Intaran. Other activities are coral transplantation in which this action are go in synergy with underwater festival, alongside turtle release, beach cleans-up, and environmental exhibition. 





Sanur is famous with its wonderful sunrise, if you have not heard about it yet. Sanur also being the meeting point of fresh and salted water, and believed as the place where Father Sky meet Mother Earth up. Before it flow farther and become folks story, let me end it. Finally, I just visited the SVF 2011 and totally sure that SVF is a must attend event. If you are around Sanur-Bali during 19-23 Nov, please spare your time to visit SVF. If not, you still welcome to check the site for next year event.

See? The almost-end-of-year festival is not always about party and glamour night. Some of them may contain values and small action that may help Father Sky to see Mother Earth in any longer time.

Selasa, 08 November 2011

JANGAN PASIF, MULAI DARI SEKARANG DAN DIRI SENDIRI

Oleh: Erien Pradyta (FK Unair, Bayer Young Environmental Envoy Indonesia 2011)



Sampah plastik adalah topik BIASA. Sengaja saya caps lock supaya lebih dramatis dan pastinya menjadi perhatian. Menjadi topik biasa, bahkan mungkin sudah bukan topic lagi, saking terbiasanya kita hidup dengan plastik. Saking terbiasanya, kita seolah lupa, tuli, buta, gak peduli dengan kenyataan bahwa plastik adalah penyumbang sampah terbesar di dunia. Bagian mana sih dari kehidupan kita yang gak lepas dari plastik?  Makan, misalnya. Anak kos seperti saya, pasti menggunakan plastik, mulai dari pelapis kertas coklat pembungkusnya, bungkusan es teh/es jeruk, kreseknya. Belum lagi kalo pedagangnya sopan sekali memisahkan kresek pembungkus makanan panas dengan kresek pembungkus minuman dingin. Hmm… minimal, untuk 1x makan, ada 4 lembar plastik. Oh ya, ada 1 lagi, sedotan. Sedotan itu juga plastik kan? Berarti 1x makan, ada 5 lembar plastik yang kita gunakan kemudian kita buang. Belum lagi kalau sedang di kampus. Mahasiswa dengan uang saku lebih, memilih untuk membeli air mineral atau minuman kemasan daripada membawa tempat minum sendiri dari rumah. Jelas saja, kemasannya adalah botol PLASTIK. Alasannya, lebih praktis. Praktis memang, tinggal buang. Yaaah… meskipun tidak bisa digeneralisasikan.
Saat ini, saya sedang mendisiplinkan diri saya sendiri untuk meminimalkan penggunaan plastik. Sedikit repot memang. Tapi, demi bumi yang lebih baik, kenapa tidak?  Saya mulai dengan 2 langkah kecil, membawa tas belanja sendiri saat berbelanja dan tempat makan/minum sendiri.  Saya terapkan pada hampir setiap kesempatan yang ada. Ada beberapa tanggapan atau kejadian lucu yang saya alami saat menjalani idealisme saya ini.
Pertama, saat membeli gorengan. Karena hasrat ngemil saya yang sangat besar, saya bawa tempat makan seperti ini, (bukan promo) :





Saya beli gorengan sebanyak Rp5000. Ternyata, gorengan yang dijual berukuran besar-besar. Hingga tempat makan saya tidak mampu menampung semuanya. Bapak penjualnya menawarkan untuk menggunakan plastik. Tapi, karena saya sudah berniat untuk mengurangi (mendekati tidak menggunakan sama sekali) plastik saya tolak dan dengan egois saya bilang, “Ya gimana caranya harus muat, pak. Saya gak mau pake plastik.” Jadilah si bapak kebingungan dengan request saya. Jadilah si bapak menumpuk gorengan saya dalam tempat makan itu, seperti ini :




Karena tempat makannya tidak bisa ditutup, tutup tempat makan itu ditumpuk di atas gorengan teratas kemudian diberi karet. Seperti burger. Untungnya waktu itu, saya juga membawa tas, sehingga tidak perlu khawatir jatuh atau apa.
Saat pergi ke mall, saya suka membeli teh susu dan minuman lainnya yang pastinya dikemas dalam kemasan plastik atau bahkan bahan seperti Styrofoam. Untuk antisipasi, saya membawa botol minum kosong. Kendalanya sekarang adalah es batu tidak cukup masuk pada lubang botol. Namun, waktu itu, saya salut dengan mbak-mbak pelayannya yang telaten memasukkan es batu berukuran kecil ke dalam botol minuman saya. Terima kasih mbak, telah mendukung idealisme saya ini.
Sedari awal, saya memang berniat untuk membiasakan diri sendiri dulu sebelum mengajak orang lain mengikuti paham saya. Gak lucu kalau saya menyuruh, menghimbau orang lain untuk diet plastik, tapi ternyata saya sendiri tidak menjalani aktivitas itu sepenuhnya. Jadilah saya berusaha semampu saya untuk TIDAK MENGGUNAKAN plastik SAMA SEKALI. Terkadang memang ada beberapa kali saya langgar. Karena itu, saya ajak beberapa teman untuk diet plastik juga, menularkan idealisme saya. Tujuannya, selain untuk memperluas kebiasaan baik, itu juga menjadi pengingat bagi saya untuk terus mengerem penggunaan plastik.
Ini beberapa orang yang sudah memulai untuk mengubah kebiasaan konsumtifnya terhadap plastik. Cekidot.
1.       Shella Wardya Relandina
“Diet plastik tentunya tertular dari Erien. Untuk gak pake plastik sama sekali tentu gak mungkin. Minimal mengurangilah penggunaan plastik. Awalnya susah buat ngebiasain untuk itu, tapi lama-lama jadi kebiasaan. Diet plastik diawali dari gak pake plastik waktu belanja ke mini market, mbak-mbak kasir ada yang biasa aja, ada yang “loh, mau dibawa pake apa mbak?” “tenang aja mbak, saya bawa tas sendiri kok.”
“yang paling susah itu pas beli makan di jalan. Bagi kebanyakan pedagang, gak pake itu gak sopan, walaupun bawa tas sendiri.”
“Kebiasaan gak pake plastik terus dibawa ke kampus dengan membawa botol dan tempat makan sendiri, selain gak pake plastik juga lebih bersih dan hemat. Komentar teman-teman macem-macem, ada yang bilang sok idealis, kayak anak TK, ribet dll. Kalo buat makalah juga udah gak pake mika =D ”

2.       Pradita Surya
“Sebelumnya saya sudah tahu kondisi bumi kita yang parah itu seperti apa, tapi saya memilih tidak bertindak apa-apa dengan dalih apa yang saya lakukan tetap gak bisa menyelamatkan bumi, tapi, semangat seseorang untuk mau peduli dengan harapan bumi sempat menyita perhatian saya. Suara kecilnya berteriak hampir tak terdengar demi bumi yang kita tinggali. Akhirnya saya sadar, bahwa ini bukan hanya sekedar ideologi, ini mengenai tindakan. Sekarang saya berusaha tidak meminta tas plastik untuk belanjaan saya di mini market, saya lebih memilih tas belanjaan sendiri bertema go green ramah lingkungan, emang mahal di awal tapi untuk sesuatu yang anda cintai bukankah anda tidak terlalu memikirkan  itu? Jangan biarkan anda mati dan dikubur di liang lahat yang dipenuhi dengan sampah plastik, anda tidak mau kan?”
        “saya juga senang karena di kantor saya sekarang diterapkan aturan mengumpulkan kertas bekas kantor yang masih layak, yang nantinya bisa untuk digunakan mencetak dokumen-dokumen nonformal (di bagian belakang kertas yang masih kosong)”
        “ mungkin generasi kita belum bisa sepenuhnya menyelamatkan bumi. Karena itu, contohkanlah kebiasaan baru ini pada anak cucu kita. Karena merekalah harapan kita yang sebenarnya untuk menyelamatkan bumi ini. Kita yang membuat bumi ini sakit, maka kita jugalah yang harus menyembuhkannya. Salam Go Green.”

Kita sudah terbiasa dalam zona praktis dan nyaman menggunakan plastik hingga tidak sadar bahwa kita sendiri yang menimbun sampah di bumi kita. Jelas saja tidak sadar. Yang kita lakukan adalah MEMINDAHKAN sampah yang kita buang ke tempat yang tidak kita lihat. Yang kita tahu, sampah itu sudah berakhir di tempat sampah. Selesai. Titik. Kalau memang tidak mau menyimpan dan mengolah sampah, ya kurangilah konsumsi sampahnya. Layaknya trending topic di twitter akhir-akhir ini, #galauitusederhana maka bisa jugalah ya dianalogikan, #memulaiitusederhana
                Jadi, masihkah kamu diam?

Kamis, 03 November 2011

You burned their houses and then you walked away

Oleh : Sarah Ervinda (Farmasi ITB)
Bayer Young Environmental Envoy Indonesia 2011
Bayer Young Environmental Leader 2011

Beberapa waktu lalu, saya ikut suatu acara yaitu “walk with the trashmen” yang diadain sama AIESEC. Sebenernya acara ini masuk rangkaian acara lingkungan yang sedang saya jalani sih. Jadi intinya saya akan bercerita tentang pengalaman saya setelah berjalan bersama pemulung.



Namanya Ibu Yuli mungkin usianya 40 tahunan.  Ibu yang sangat baik, walaupun baru kenal dengan saya dia mau bercerita banyak. Bu yuli ini udah jadi pemulung selama 10 tahun. Dia punya anak tapi anaknya dititipin ke saudaranya. Dia enggak punya rumah, dia tinggal di pinggir rel kereta api. Beliau sempat menunjukkan rumahnya ke saya. Begitu sampai rumahnya saya kaget, nggak ada bangunan fisik sama sekali. Yang ada cuman alas dan beberapa perkakas, nggak ada lantai nggak ada atap. Ada bekas kebakaran disitu.




Ibu yuli cerita rumahnya dibakar oleh beberapa orang(saya gak bisa kasih tau disini) beberapa waktu lalu. Saat dia lagi pergi memulung, begitu kembali rumahnya udah terbakar. Sebagai informasi, dalam sehari pemulung mendapatkan uang maksimum 15 ribu, biasanya sehari sekitar 7 ribu. Tanpa belas kasihan, oknum-oknum tersebut membakar rumah Ibu Yuli. Padahal ibu ini memilik tabungan sekitar 480 ribu yang ada di rumahnya. Dan uang itu habis terbakar…

Coba kamu bayangkan betapa susahnya bagi Ibu Yuli untuk mengumpulkan uang tersebut. Saya merasakan sendiri saat saya membantu Ibu Yuli untuk memungut sampah. Setelah berjam-jam berjalan, hasil yang kamu dapatkan hanya dihargai sekitar 4000 rupiah. Di tempat lain gubuk-gubuk pemulung dibakar karena diduga area tersebut akan dijadikan taman.

Ada cerita lain, teman dari Bu Yuli. Dia berjalan sampai ke daerah Dayeuh Kolot untuk mencari sampah. Tiba-tiba hujan deras, dia tidak bisa pulang. Barang yang dia bawa berat. Tidak ada yang mau membantu mengantarkan. Dia akhirnya berjalan…

Mereka bilang fakir miskin dan anak terlantar itu dipelihara negara, ternyata masih berupa wacana. Memalukan. Tanpa pemberitahuan mereka bakar satu-satunya tempat bernaung bagi pemulung, mereka bakar hasil kerja keras yang telah mereka kumpulkan. Mereka tidak menyediakan apapun sebagai gantinya. Bukankah hak warga negara itu mendapatkan perlindungan dari negara ini. Yang ada sekarang rasa benci, rasa tidak percaya.

Suatu hari, kita harus berpikir ulang beberapa kali sebelum membeli sesuatu. Mereka makan bekas makanan yang dibuang di tempat sampah. Berapa uang yang kita keluarkan untuk makan-makan? setara dengan kerja keras mereka selama seminggu penuh. Kita harus mulai banyak berkaca kawan. Kita harus mulai menumbuhkan rasa empati. Jika pemerintah tidak bisa memberikan bantuan, kenapa kita tidak mecoba. Sebagai sesama manusia. Coba lihat dunia lebih luas, kamu memiliki masalah, tapi masalah orang lain masih banyak yang jauh lebih berat. Jika punya waktu sempatkan bermain ke gubuk mereka.

Berceritalah, bergeraklah, lakukan sesuatu!